Awal mula sejarah pemikiran Barat dapat dilacak dari munculnya beberapa tokoh atau filsuf yang berusaha menjelaskan berbagai macam fenomena alam yang terjadi di dalam kehidupan mereka. Para tokoh ini tidak mencari jawabannya pada mitos-mitos yang berkembang pada waktu itu, tetapi berusaha merumuskan jawaban atas fenomena alam tersebut secara rasional.
Salah satu tokoh awal sejarah pemikiran barat adalah Thales yang berasal dari Miletos. Pokok-pokok pemikiran Thales adalah sebagai berikut.
Thales (625-545 SM) adalah salah satu tokoh awal sejarah pemikiran Barat yang berasal dari Miletos. Ia disebut sebagai filsuf alam karena menjadikan alam semesta sebagai objek untuk menjawab teka-teki mengenai alam dan peristiwa yang ada di dalamnya. Ia berpendapat bahwa dasar pertama atau inti sari alam adalah air. Ia menyampaikan penalaran bahwa semua yang ada dan hidup di alam semesta ini memerlukan makan (yang di dalamnya mengandung asas kebasahan atau air) sehingga tanpa air, semua yang ada di alam akan musnah. Ini berarti alam menjadi tidak ada. Dari penalaran tersebut dapat disimpulkan bahwa air merupakan unsur yang paling hakiki bagi alam.
Sebagai prinsip dasar segala sesuatu, air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta (Juhaya S. Praja, 2005). Menurut Thales, air menunjukkan perubahan yang lebih masuk akal dan lebih jelas daripada unsur lain karena dapat menjadi padat, menguap, serta menjadi cair. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh bumi berada di atas air, yang mana sewaktu-waktu air dapat bergetar atau bergelombang hingga menyebabkan gempa di bumi yang ada di atasnya.
Baca Juga: Pemikiran pada Masa Pencerahan (Aufklarung) Menyebabkan Revolusi Prancis?
Rene Descartes sebagai salah satu tokoh penting di dalam pengembangan pemikiran rasionalisme Barat memiliki pandangan yang bercorak dualisme. Dualisme di dalam pemikiran Descartes ini berkaitan dengan pandangannya tentang hubungan antara jiwa dan badan manusia. Pandangan Descartes ini memiliki kesinambungan dan kemiripan dengan pandangan dualisme dari tokoh era Yunani Kuno, yaitu Plato. Persamaan pemikiran Descartes dan Plato tentang dualisme adalah sebagai berikut.
Meski berasal dari pemikiran masa Rasionalisme dan masa Yunani Kuno, Rene Descartes (1596-1650) dan Plato (427-347 SM) adalah dua filsuf yang memiliki pandangan tentang dualisme, yakni pemikiran yang berhubungan dengan jiwa dan raga. Rene Descarter berpendapat bahwa budi adalah subtansi nonfisik, sementara Plato menggagas tentang dua jenis dunia dalam diri manusia (Gandhy Prawira, 2019). Karena hal tersebut, pandangan Rene Descartes kemudian dianggap memiliki kesinambungan dan kemiripan dengan pandangan dualisme dari Plato.
Dalam pandangannya tentang realitas (ajaran ontologi), Rene Descartes mengajarkan bahwa realitas terdiri dari dua unsur yang berdampingan, yakni dunia ide atau dunia pemikiran atau dunia kesadaran (cogitation) yang tidak bisa diukur dan berada di luar ruang dan waktu, serta dunia materi atau dunia keluasan (extentio) yang bisa diukur dan berada di dalam ruang dan waktu. Dunia ide atau dunia pemikiran hanya dapat dipahami oleh pengalaman jiwa, sedangkan dunia materi atau dunia keluasan hanya dapat dipahami oleh ilmu pasti. Akibat pandangannya yang dualistik, maka pendapat Rene Descartes tentang manusia juga bersifat dualistik, yaitu jiwa dan raga.
Sementara, Plato berpendapat bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia, yaitu dunia idea sebagai realitas yang tetap, tidak berubah dan abadi, yang hanya terbuka dan dapat dikenal oleh rasio, dan dunia jasmani atau indrawi sebagai realitas yang serba berubah, yang hanya dapat dikenal dan terbuka bagi pancaindra. Ia berpandangan bahwa dunia idelah yang utama karena ide ada lebih dahulu daripada dunia pengalaman atau indrawi dan menjadi model dari dunia pengalaman. Oleh karenanya, ada dua bentuk ‘yang ada’ atau realitas, yaitu bentuk yang dapat diamati yang senantiasa berubah dan bentuk yang tidak dapat diamati yang tidak berubah.
Baca Juga: Hikmah Mempelajari Renaissance, Menghendaki Manusia yang Bebas dan Tidak Dibelenggu oleh Dogma
![]() |
Thales of Miletus (famousscientists.org) |
Thales (625-545 SM) adalah salah satu tokoh awal sejarah pemikiran Barat yang berasal dari Miletos. Ia disebut sebagai filsuf alam karena menjadikan alam semesta sebagai objek untuk menjawab teka-teki mengenai alam dan peristiwa yang ada di dalamnya. Ia berpendapat bahwa dasar pertama atau inti sari alam adalah air. Ia menyampaikan penalaran bahwa semua yang ada dan hidup di alam semesta ini memerlukan makan (yang di dalamnya mengandung asas kebasahan atau air) sehingga tanpa air, semua yang ada di alam akan musnah. Ini berarti alam menjadi tidak ada. Dari penalaran tersebut dapat disimpulkan bahwa air merupakan unsur yang paling hakiki bagi alam.
Sebagai prinsip dasar segala sesuatu, air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta (Juhaya S. Praja, 2005). Menurut Thales, air menunjukkan perubahan yang lebih masuk akal dan lebih jelas daripada unsur lain karena dapat menjadi padat, menguap, serta menjadi cair. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh bumi berada di atas air, yang mana sewaktu-waktu air dapat bergetar atau bergelombang hingga menyebabkan gempa di bumi yang ada di atasnya.
Baca Juga: Pemikiran pada Masa Pencerahan (Aufklarung) Menyebabkan Revolusi Prancis?
![]() |
Rene Descartes (britannica.com) |
Rene Descartes sebagai salah satu tokoh penting di dalam pengembangan pemikiran rasionalisme Barat memiliki pandangan yang bercorak dualisme. Dualisme di dalam pemikiran Descartes ini berkaitan dengan pandangannya tentang hubungan antara jiwa dan badan manusia. Pandangan Descartes ini memiliki kesinambungan dan kemiripan dengan pandangan dualisme dari tokoh era Yunani Kuno, yaitu Plato. Persamaan pemikiran Descartes dan Plato tentang dualisme adalah sebagai berikut.
Meski berasal dari pemikiran masa Rasionalisme dan masa Yunani Kuno, Rene Descartes (1596-1650) dan Plato (427-347 SM) adalah dua filsuf yang memiliki pandangan tentang dualisme, yakni pemikiran yang berhubungan dengan jiwa dan raga. Rene Descarter berpendapat bahwa budi adalah subtansi nonfisik, sementara Plato menggagas tentang dua jenis dunia dalam diri manusia (Gandhy Prawira, 2019). Karena hal tersebut, pandangan Rene Descartes kemudian dianggap memiliki kesinambungan dan kemiripan dengan pandangan dualisme dari Plato.
Dalam pandangannya tentang realitas (ajaran ontologi), Rene Descartes mengajarkan bahwa realitas terdiri dari dua unsur yang berdampingan, yakni dunia ide atau dunia pemikiran atau dunia kesadaran (cogitation) yang tidak bisa diukur dan berada di luar ruang dan waktu, serta dunia materi atau dunia keluasan (extentio) yang bisa diukur dan berada di dalam ruang dan waktu. Dunia ide atau dunia pemikiran hanya dapat dipahami oleh pengalaman jiwa, sedangkan dunia materi atau dunia keluasan hanya dapat dipahami oleh ilmu pasti. Akibat pandangannya yang dualistik, maka pendapat Rene Descartes tentang manusia juga bersifat dualistik, yaitu jiwa dan raga.
Sementara, Plato berpendapat bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia, yaitu dunia idea sebagai realitas yang tetap, tidak berubah dan abadi, yang hanya terbuka dan dapat dikenal oleh rasio, dan dunia jasmani atau indrawi sebagai realitas yang serba berubah, yang hanya dapat dikenal dan terbuka bagi pancaindra. Ia berpandangan bahwa dunia idelah yang utama karena ide ada lebih dahulu daripada dunia pengalaman atau indrawi dan menjadi model dari dunia pengalaman. Oleh karenanya, ada dua bentuk ‘yang ada’ atau realitas, yaitu bentuk yang dapat diamati yang senantiasa berubah dan bentuk yang tidak dapat diamati yang tidak berubah.
Baca Juga: Hikmah Mempelajari Renaissance, Menghendaki Manusia yang Bebas dan Tidak Dibelenggu oleh Dogma
![]() |
Thomas Hobbes (britannica.com) |
Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran empirisme adalah Thomas Hobbes. Selain menjadi tokoh utama dalam paham empirisme Inggris, Thomas Hobbes juga memiliki beberapa pemikiran yang berpengaruh dalam bidang politik dan tata negara. Salah satu pemikiran yang terkenal dari Thomas Hobbes adalah pemikiran tentang terjadinya negara. Teori terjadinya negara menurut Thomas Hobbes adalah sebagai berikut.
Thomas Hobbes (1588-1679) menggagas tentang masalah sosial-politik bahwa di dalam kehidupan manusia tidak ada keadaan yang diam terus-menerus, melainkan adanya suatu keadaan yang berjuang terus-menerus. Dalam teorinya tersebut, dipaparkan bahwa pada keadaan alamiah manusia bersifat egoistik untuk mencapai kebahagiaan. Oleh karenanya, untuk mencapai keadilan harus dibentuk negara, yang membuat perundang-undangan supaya tercipta keadaan yang lebih tertib dan damai. Hal itu akan lebih baik daripada keadaan alamiah yang hanya berdasar hukum rimba, yang di dalamnya manusia saling berperang.
Keadaan hidup damai dan tenteram tersebut akan dapat dicapai apabila mereka mengadakan suatu kontrak (perjanjian) dengan pihak lain yang mempunyai wewenang memelihara ketenteraman dan kedamaian. Hal ini dilakukan dengan cara mematuhi sepenuhnya pihak yang berwenang tadi agar masyarakat (negara) dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kemudian, untuk terhindar dari pelanggaran terhadap perjanjian diperlukan sesuatu yang lebih tinggi, yang artinya perdamaian baru terlaksana apabila setiap orang memperhatikan dan menaati undang-undang.
Bagi Thomas Hobbes, hanya raja yang berdaulat berdiri di atas mereka, akan tetapi ia sendiri tidak merupakan bagian dari mereka yang membuat perjanjian karena isi perjanjian adalah ketaatan kepada sang Daulat, orang yang melaksanakan kemauan perjanjian. Oleh karena itu, tidaklah mungkin sang Daulat melanggar perjanjian karena ia tidak mengikatkan diri dalam perjanjian itu. Sang Daulat memang dapat bertindak tidak selayaknya, tetapi ia tidak mungkin bertindak berlawanan dengan hukum, sebab ia tidak terikat oleh hukum. Dengan demikian, bentuk masyarakat negara yang dipimpin oleh seorang raja yang berdaulat penuh atau monarki absolut adalah bentuk negara terbaik. Semua badan lain dalam negara atau badan-badan pemerintahan hanya merupakan pelaksana dari kemauan sang Daulat.
Baca Juga: Pengertian dan Sejarah Sintaksis di Indonesia, Ditulis Tata Bahasawan Indonesia dan Asing
![]() |
Francis Bacon (historic-uk.com) |
Salah satu tokoh empirisme yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran barat adalah Francis Bacon. Gagasan Bacon tidak hanya memberikan kontribusi pada perkembangan pemikiran pada masanya, tetapi juga perkembangan ilmu kealaman hingga saat ini. Francis Bacon memperkenalkan metode terkenal yang membuat perkembangan ilmu melaju sedemikian pesatnya. Nama metode yang dikembangkan oleh Francis Bacon adalah sebagai berikut.
Metode yang dikembangkan oleh Francis Bacon adalah metode induksi. Ia pertama kali memperkenalkan adanya metode tersebut sehingga sering digelari sebagai Bapak Metode Induksi. Bacon sangat menentang metode deduktif kaum skolastik dan sebagai gantinya ia mengemukakan metode eksperimental atau induktif. Bahkan, ia ingin merubah metafisika yang spekulatif dengan ilmiah eksperimental.
Salah satu pokok pikiran Francis Bacon adalah, bahwa manusia dalam mengusahakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan haruslah menggunakan metode induksi. Sebagai contoh, masalah yang dihadapi manusia terkait terhambatnya kemajuan di dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan disebabkan oleh purbasangka atau diistilahkan dengan idola yang berasal dari kata Yunani ‘eidola’, artinya khayal, kekeliruan, dan hantu. Idola ini merupakan hal-hal yang sudah ada dan melekat pada manusia sehingga dapat memengaruhi pendapat dan penilaiannya atas sesuatu hal di dalam kehidupannya.
Francis Bacon kemudian membedakan adanya 4 macam idola, yaitu Idola Tribus, Idola Specus, Idola Fori, dan Idola Theatri. Idola Tribus adalah purbasangka yang melekat pada setiap orang, yang selalu cenderung memandang atau menilai segala sesuatu sebagai sama dengan dirinya sendiri. Idola Specus adalah purbasangka yang bersumber dari kepicikan manusia. Idola Fori adalah purbasangka yang terbentuk karena manusia berkomunikasi dengan sesama manusia di dalam masyarakat, terutama terpengaruh bahasa sebagai alat komunikasi. Terakhir, Idola Theatri adalah purbasangka yang terbentuk karena pewarisan atau pengertian-pengertian yang berasal dari suatu sistem atau paham, atau orang-orang yang ada sebelumnya sehingga pendapat orang dibentuk dan dipengaruhi oleh tradisi-tradisi atau norma-norma masyarakat lingkungannya.
Dari ajaran mengenai idola, Francis Bacon menekankan bahwa manusia harus membebaskan (menghindarkan) diri dari segala macam idola agar perkembangan ilmu pengetahuan tidak terhambat dan berkembang pesat. Setelah bebas dari segala idola, Francis Bacon mengajarkan dua cara, yaitu barang sesuatu yang dijadikan objek harus disimak atau diobservasikan dan setelah melalui percobaan-percobaan atau eksperimentasi maka berbagai fakta harus diatur untuk datang pada suatu kesimpulan yang benar.
Baca Juga: Menurut Pemikiran Empirisme, Satu-Satunya Sumber Pengetahuan Manusia adalah Pancaindra?
Referensi:
- Feelsafat. (2020). Thales | Biografi, Pemikiran, dan Karya, https://feelsafat.com/2020/07/thales-biografi-pemikiran-dan-karya.html, diakses pada 2 Mei 2023.
- Mulyono dan Slamet Subeki. (2019). Sejarah Pemikiran Modern. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
- Praja, Juhaya S. (2005). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.
- Prawira, Gandhy Putra. (2019). Dualisme. https://blog.umsida.ac.id/gandhypra09/2019/10/14/hello-world/, diakses pada 2 Mei 2023.
- Wikipedia. (2022). Thales, https://id.wikipedia.org/wiki/Thales#:~:text=Thales%20berpendapat%20bahwa%20segala%20sesuatu,raga%20karena%20mampu%20menggerakkan%20besi., diakses pada 2 Mei 2023.