Buku Materi Pokok (BMP) untuk mata kuliah Sintaksis Bahasa Indonesia (PBIN4107) pada Modul 1 memiliki tajuk “Kedudukan dan Ruang Lingkup Sintaksis”. Materi yang disajikan dalam modul ini terdapat tiga (3) kegiatan belajar, yang mana masing-masing kegiatan belajar memiliki judul dan pembahasan tersendiri. Kali ini akan fokus pada Kegiatan Belajar 1 yang memuat materi tentang pengertian dan sejarah sintaksis di Indonesia. Pemaparan lebih jelas, berikut rangkumannya!
![]() |
| ilustrasi belajar (pexel.com/Andrea Piacquadio) |
A. Pengertian Sintaksis
Menurut Krisdalaksana (2001), sintaksis adalah cabang linguistik yang mempelajari pengaturan dan hubungan antara kata dan kata atau antara kata dan satuan-satuan yang lebih besar atau antarsatuan yang lebih besar dalam bahasa. Sementara, Ramlan (1981) mendefinisikan bahwa sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
Jika dilihat dari sudut pandang analisis bahasa, wacana memiliki unsur kalimat-kalimat, kalimat memiliki unsur klausa-klausa atau frasa-frasa, klausa memiliki unsur frasa-frasa atau kata-kata, dan frasa memiliki unsur kata-kata. Sementara, jika dilihat dari sudut pandang pembentukannya, wacana memiliki elemen terkecil berupa kata. Kata-kata tersebut merupakan unsur pembentuk frasa, frasa adalah unsur pembentuk klausa, klausa adalah unsur pembentuk kalimat, dan kalimat adalah unsur pembentuk wacana.
Untuk memahami definisi sintaksis secara lengkap perlu memahami pengertian wacana, kalimat, klausa, dan frasa karena satuan-satuan itulah yang menjadi obyek kajiannya. Selain itu, perlu dipahami pula pengertian kata karena satuan itulah yang menjadi unsur terkecil pembentuk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
Baca Juga: Ajaran Ilmu Pengetahuan atau Wissenschaftslehre dari Filsafat Johann Gottlieb Fichte
Wacana adalah satuan gramatikal yang berada pada tataran tertinggi dan terlengkap yang biasanya direalisasikan dalam bentuk karangan utuh atau paragraf. Sebagian ahli menyatakan bahwa wacana bukan merupakan bagian sintaksis dan dijelaskan dalam buku tersendiri yang disebut dengan istilah analisis wacana atau kajian wacana. Dengan demikian, sintaksis hanya mengkaji satuan-satuan yang berupa frasa, klausa, dan kalimat.
Kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 1982). Naik turunnya intonasi akhir itu menjadi dasar penjenisan kalimat, misalnya kalimat berita memiliki intonasi akhir turun, kalimat perintah memiliki intonasi akhir naik, dan kalimat tanya memiliki intonasi akhir naik turun. Kalimat juga dipahami sebagai satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, memiliki pola intonasi final, dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa (Krisdalaksana, 2001).
Klausa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas predikat (P) disertai subyek (S), obyek (O), pelengkap (Pel), keterangan (Ket) atau tidak (Ramlan, 1982). Unsur inti sebuah klausa ialah S dan P. Namun, karena dalam pemakaian bahasa unsur S sering dihilangkan, sebuah klausa dapat diidentifikasi sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas P saja. Sehingga, klausa juga dibatasi sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas S dan P yang memiliki potensi untuk menjadi kalimat (Krisdalaksana, 2001).
Frasa adalah satuan bahasa yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi (Ramlan, 1982). Artinya, frasa selalu terdiri atas dua kata atau lebih dan frasa secara utuh selalu berada di dalam satu fungsi tertentu, yaitu berada di S, P, O, Pel, atau Ket saja. Frasa juga didefinisikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang hubungan antarelemennya tidak bersifat predikatif atau dengan kata lain tidak boleh kata satu berfungsi sebagai S bagi kata yang lain atau menjadi P bagi kata yang lain (Krisdalaksana, 2001).
Wacana adalah satuan gramatikal yang berada pada tataran tertinggi dan terlengkap yang biasanya direalisasikan dalam bentuk karangan utuh atau paragraf. Sebagian ahli menyatakan bahwa wacana bukan merupakan bagian sintaksis dan dijelaskan dalam buku tersendiri yang disebut dengan istilah analisis wacana atau kajian wacana. Dengan demikian, sintaksis hanya mengkaji satuan-satuan yang berupa frasa, klausa, dan kalimat.
Kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 1982). Naik turunnya intonasi akhir itu menjadi dasar penjenisan kalimat, misalnya kalimat berita memiliki intonasi akhir turun, kalimat perintah memiliki intonasi akhir naik, dan kalimat tanya memiliki intonasi akhir naik turun. Kalimat juga dipahami sebagai satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, memiliki pola intonasi final, dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa (Krisdalaksana, 2001).
Klausa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas predikat (P) disertai subyek (S), obyek (O), pelengkap (Pel), keterangan (Ket) atau tidak (Ramlan, 1982). Unsur inti sebuah klausa ialah S dan P. Namun, karena dalam pemakaian bahasa unsur S sering dihilangkan, sebuah klausa dapat diidentifikasi sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas P saja. Sehingga, klausa juga dibatasi sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas S dan P yang memiliki potensi untuk menjadi kalimat (Krisdalaksana, 2001).
Frasa adalah satuan bahasa yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi (Ramlan, 1982). Artinya, frasa selalu terdiri atas dua kata atau lebih dan frasa secara utuh selalu berada di dalam satu fungsi tertentu, yaitu berada di S, P, O, Pel, atau Ket saja. Frasa juga didefinisikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang hubungan antarelemennya tidak bersifat predikatif atau dengan kata lain tidak boleh kata satu berfungsi sebagai S bagi kata yang lain atau menjadi P bagi kata yang lain (Krisdalaksana, 2001).
Kata adalah morfem atau kombinasi morfem dianggap bahasawan sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas (Krisdalaksana, 2001). Misalnya, kata “rumah” yang hanya terdiri satu morfem {rumah}, kata “membeli” merupakan kombinasi morfem {mem-) dan {-beli}, serta kata “ketidakadilan” merupakan kombinasi morfem {ke-an}, {tidak}, dan {adil}. Di dalam kalimat, kata tidak bergantung pada bentuk lain dan berbeda dengan imbuhan yang tidak dapat berdiri sendiri.
Baca Juga: Menurut Pemikiran Empirisme, Satu-Satunya Sumber Pengetahuan Manusia adalah Pancaindra?
Sejak tradisi Yunani-Latin sampai sekarang, sintaksis merupakan cabang ilmu bahasa yang menjadi fokus kajian. Karena sintaksis merupakan bagian dari tata bahasa, pembicaraan sejarah sintaksis Indonesia juga sejalan dengan pembicaraan sejarah tata bahasa di Indonesia.
Tata bahasa Indonesia pada awalnya ditulis menurut model tata bahasa Yunani-Latin dan didasarkan pada kajian bahasa Melayu. Walaupun bahasa Melayu dan bahasa Indonesia serumpun, bahasa Indonesia berkembang dari bahasa Melayu. Saat ini, kedua bahasa tersebut sudah banyak memiliki ciri, sifat, dan perilaku yang berbeda. Di sisi lain, pada waktu itu buku tata bahasa pada umumnya tidak banyak membicarakan permasalahan sintaksis, tetapi hampir seluruh isi buku membicarakan permasalahan jenis kata dan pembentukan kata.
Kebanyakan tata bahasa Indonesia ditulis oleh tata bahasawan Indonesia dan asing pada 1950-an (Rusyana dan Samsuri, 1976). Di antaranya Ch. A. Van Ophuijsen (1915), St. Mochamad Zain (1943), St. Takdir Alisyahbana (1953), Madong Lubis (1954), L.R. Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulder (1955), Slametmuljana (1957), serta C. A. Mess (1957).
Hampir seluruh buku tata bahasa yang ditulis oleh Ch. A. Van Ophuijsen membicarakan permasalahan kelas kata. Dalam buku lain, pemilahan tata bahasa atas morfologi dan sintaksis belum tampak jelas. Oleh karena itu, konsep morfem dalam kajian morfologi dan konsep klausa dalam kajian sintaksis belum banyak dibicarakan dan belum tegas pemilahannya.
Dikemukakan oleh St. Mochamad Zain dalam buku Djalan Bahasa Indonesia (1958) yang hanya sedikit menguraikan soal sintaksis. Dalam buku tersebut dibicarakan soal frasa yang meliputi frasa milik dan frasa atribut, serbasedikit soal pemakaian kata “ada” dan “yang”, serta kalimat pasif. Selebihnya, dalam buku tersebut dibicarakan panjang lebar soal uraian jenis kata dan pembentukan kata, yang juga tercantum dalam buku Tata Bahasa Indonesia oleh C. A. Mess (1957).
Upaya Alisjahbana dalam menerbitkan tata bahasa dengan memilah antara hal ihwal morfologi dan sintaksis dipandang sebagai hasil perkembangan ilmu. Hal ini juga dilakukan oleh Poedjawijatna dan Zoetmulder yang memilah pembicaraan bentuk kata pada jilid satu dan pembicaraan bentuk kalimat pada jilid dua (1964). Sementara, Slametmuljana (1957) memilah pembicaraan bentuk kata pada jilid yang berbeda dengan pembicaraan bentuk kalimat.
Baca Juga: Menurut Pemikiran Empirisme, Satu-Satunya Sumber Pengetahuan Manusia adalah Pancaindra?
B. Sejarah Sintaksis di Indonesia
Sejak tradisi Yunani-Latin sampai sekarang, sintaksis merupakan cabang ilmu bahasa yang menjadi fokus kajian. Karena sintaksis merupakan bagian dari tata bahasa, pembicaraan sejarah sintaksis Indonesia juga sejalan dengan pembicaraan sejarah tata bahasa di Indonesia.
Tata bahasa Indonesia pada awalnya ditulis menurut model tata bahasa Yunani-Latin dan didasarkan pada kajian bahasa Melayu. Walaupun bahasa Melayu dan bahasa Indonesia serumpun, bahasa Indonesia berkembang dari bahasa Melayu. Saat ini, kedua bahasa tersebut sudah banyak memiliki ciri, sifat, dan perilaku yang berbeda. Di sisi lain, pada waktu itu buku tata bahasa pada umumnya tidak banyak membicarakan permasalahan sintaksis, tetapi hampir seluruh isi buku membicarakan permasalahan jenis kata dan pembentukan kata.
Kebanyakan tata bahasa Indonesia ditulis oleh tata bahasawan Indonesia dan asing pada 1950-an (Rusyana dan Samsuri, 1976). Di antaranya Ch. A. Van Ophuijsen (1915), St. Mochamad Zain (1943), St. Takdir Alisyahbana (1953), Madong Lubis (1954), L.R. Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulder (1955), Slametmuljana (1957), serta C. A. Mess (1957).
Hampir seluruh buku tata bahasa yang ditulis oleh Ch. A. Van Ophuijsen membicarakan permasalahan kelas kata. Dalam buku lain, pemilahan tata bahasa atas morfologi dan sintaksis belum tampak jelas. Oleh karena itu, konsep morfem dalam kajian morfologi dan konsep klausa dalam kajian sintaksis belum banyak dibicarakan dan belum tegas pemilahannya.
Dikemukakan oleh St. Mochamad Zain dalam buku Djalan Bahasa Indonesia (1958) yang hanya sedikit menguraikan soal sintaksis. Dalam buku tersebut dibicarakan soal frasa yang meliputi frasa milik dan frasa atribut, serbasedikit soal pemakaian kata “ada” dan “yang”, serta kalimat pasif. Selebihnya, dalam buku tersebut dibicarakan panjang lebar soal uraian jenis kata dan pembentukan kata, yang juga tercantum dalam buku Tata Bahasa Indonesia oleh C. A. Mess (1957).
Upaya Alisjahbana dalam menerbitkan tata bahasa dengan memilah antara hal ihwal morfologi dan sintaksis dipandang sebagai hasil perkembangan ilmu. Hal ini juga dilakukan oleh Poedjawijatna dan Zoetmulder yang memilah pembicaraan bentuk kata pada jilid satu dan pembicaraan bentuk kalimat pada jilid dua (1964). Sementara, Slametmuljana (1957) memilah pembicaraan bentuk kata pada jilid yang berbeda dengan pembicaraan bentuk kalimat.
Baca Juga: Pengertian, Sasaran, Arah dan Perkembangan, serta Ahli-Ahli Pikir yang Menonjol pada Zaman Renaissance
Di sisi lain, buku yang khusus membicarakan soal sintaksis adalah Pengantar Sintaksis Indonesia yang ditulis oleh A. A. Fokker dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Djonhar (1960). Dalam buku itu, Fokker menggunakan intonasi sebagai dasar kalimat.
Setelah lebih seperempat abad, lahirlah sebuah buku Tatabahasa Indonesia yang ditulis oleh Gorys Keraf (1969) yang ditujukan untuk pembelajaran tata bahasa Indonesia di sekolah lanjutan atas sehingga belum dapat digolongkan sebagai hasil kodifikasi bahasa Indonesia berdasarkan teori linguistik tertentu walaupun tidak bisa pula dikatakan tidak didasarkan pada aliran linguistik tertentu.
Pada 1976, upaya penulisan buku tata bahasa telah dilakukan oleh Pusat Pengembangan Bahasa dengan menerbitkan buku Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia (Rusyana dan Samsuri, 1976) yang diharapkan dapat dihasilkan beberapa versi buku tata bahasa yang didasarkan pada model tradisional, struktural, dan transformasi.
Dalam buku pedoman tersebut, dikemukakan (1) satu model tata bahasa Indonesia yang ditinjau dari segi tata bahasa tradisional yang ditulis oleh J. S. Badudu, (2) tiga model penyusunan tata bahasa struktural yang ditulis oleh M. Ramlan, Gorys Keraf, dan Anton M. Moeliono, serta (3) dua model penyusunan tata bahasa transformasional yang ditulis oleh M. Silitonga dan Harimurti Kridalaksana.
Pada 1981, M. Ramlan telah menulis buku Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis yang didasarkan pada pandangan teori linguistik structural. Pada 1988, telah tersusun Tata Bahasa Baku Indonesia oleh Hasan Alwi dkk. sebagai edisi pertama, cetakan pertama (edisi ketiga, cetakan keenam, 2003). Sampai saat ini, buku-buku tersebut merupakan buku tata bahasa Indonesia yang cukup lengkap dan representatif dan sintaksis mendapatkan porsi pembicaraaan yang cukup banyak di samping morfologi dan beberapa hal yang relevan lainnya.
Baca Juga: Pandangan Utama Georg Wilhelm Friedrich Hegel tentang Roh Absolut
Referensi:
Setiawan, Teguh dan Joko Santoso. (2021). Sintaksis Bahasa Indonesia BMP 1-9 PBIN4107 (Edisi 2). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Di sisi lain, buku yang khusus membicarakan soal sintaksis adalah Pengantar Sintaksis Indonesia yang ditulis oleh A. A. Fokker dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Djonhar (1960). Dalam buku itu, Fokker menggunakan intonasi sebagai dasar kalimat.
Setelah lebih seperempat abad, lahirlah sebuah buku Tatabahasa Indonesia yang ditulis oleh Gorys Keraf (1969) yang ditujukan untuk pembelajaran tata bahasa Indonesia di sekolah lanjutan atas sehingga belum dapat digolongkan sebagai hasil kodifikasi bahasa Indonesia berdasarkan teori linguistik tertentu walaupun tidak bisa pula dikatakan tidak didasarkan pada aliran linguistik tertentu.
Pada 1976, upaya penulisan buku tata bahasa telah dilakukan oleh Pusat Pengembangan Bahasa dengan menerbitkan buku Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia (Rusyana dan Samsuri, 1976) yang diharapkan dapat dihasilkan beberapa versi buku tata bahasa yang didasarkan pada model tradisional, struktural, dan transformasi.
Dalam buku pedoman tersebut, dikemukakan (1) satu model tata bahasa Indonesia yang ditinjau dari segi tata bahasa tradisional yang ditulis oleh J. S. Badudu, (2) tiga model penyusunan tata bahasa struktural yang ditulis oleh M. Ramlan, Gorys Keraf, dan Anton M. Moeliono, serta (3) dua model penyusunan tata bahasa transformasional yang ditulis oleh M. Silitonga dan Harimurti Kridalaksana.
Pada 1981, M. Ramlan telah menulis buku Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis yang didasarkan pada pandangan teori linguistik structural. Pada 1988, telah tersusun Tata Bahasa Baku Indonesia oleh Hasan Alwi dkk. sebagai edisi pertama, cetakan pertama (edisi ketiga, cetakan keenam, 2003). Sampai saat ini, buku-buku tersebut merupakan buku tata bahasa Indonesia yang cukup lengkap dan representatif dan sintaksis mendapatkan porsi pembicaraaan yang cukup banyak di samping morfologi dan beberapa hal yang relevan lainnya.
Baca Juga: Pandangan Utama Georg Wilhelm Friedrich Hegel tentang Roh Absolut
Referensi:
Setiawan, Teguh dan Joko Santoso. (2021). Sintaksis Bahasa Indonesia BMP 1-9 PBIN4107 (Edisi 2). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
